Cerpen "Surat - Surat"

(1)

Yang, aku rindu dengan mu, rindu dengan senyummu yang paling lebar. Kau selalu saja buatku merasa teduh, merasa ada teman dalam suka dukaku. seperti halnya ibu yang mendongeng untukku agar aku bisa tidur dengan lelap dan nyaman. Aku rindu padamu, yang.

 Pada malam ini aku tak bisa tidur sampai subuh. Aku simpan tulisan itu didalam laci meja yang ada di dalam kamar. dengan perasaan penuh harapan. Tapi aku tidak bisa menjelaskan harapan apa yang aku inginkan. Ini semua benar-benar tidak jelas. Itu karena ulahmu atau karena kesalahanku. Kesalahan yang mana? aku bingung. Tiba-tiba air mataku menetes, barangkali tetesan ini tanda kebuntuan yang aku hadapi.

Adzan, sebelumnya ayam berkokok bersahutan. Aku belum tidur. Aku perlu sholat agar aku bisa mengerti soal kegundahanku ini. Ah, tidak. Aku tidak boleh bersikap seperti ini. Sholat bukanlah jawaban untuk menjawab kegundahanku. Aku bisa saja salah niat, aku menelikung niat sholat untuk memuja Tuhan menjadi niat untuk memperoleh jawaban murahan. Tapi bagaimana mungkin, pikiranku untuk menjawab ini semua sudah mentok. Aku tidak tahu bagaimana caranya untuk mengakhiri apa yang tidak aku ingini. Aku ingin kau kembali kepadaku. Tapi aku juga bingung, kenapa kau tiba-tiba pergi.

***

Pagi adalah tempat untuk menikmati bahwa segala aktifitas kemarin adalah sebuah sejarah, dan pagi adalah awal untuk memperbaiki hidup yang masih tanda tanya untuk melanjutkan hidup. Tapi pagi ini aku baru bisa tidur. Bahkan tiap malam aku bertemu dengan keadaan seperti ini. Bukan, bukan malam ini saja. tapi setiap malam. Aku benci hari-hariku sekarang, hariku tidak lagi ada kau yang biasa mengumbar kemesraan kepadaku. Membuat aku senang, Membuat piluku hilang dengan wajah menjadi berseri kala pagi datang. karena itu tandanya aku akan bertemu kau. Dan kau kembali mengumbar perasaan.

Katamu "Aku sayang kamu" Aku itu kamu, tapi kamu itu aku. Sekarang semua penuh ketidakjelasan. Kata-kata, ah... kenapa harus ada kata-kata mesra, kata-kata yang kau ucapkan itu sekarang menjadi kata-kata penghianatan.

***

Dalam selembar kertas aku menulis lagi, pada malam ini aku ingin kau kembali kepadaku.

Bila kau tau, Batin ini sudah begitu hancur, dan kau yang membuat, BRENGSEK! Kenapa kau tiba-tiba meninggalkan aku begitu saja. Kau campakkan kasih-sayangku kepadamu. Apa kau sudah punya wanita yang lebih cantik dan lebih molek dari aku. Apa aku kurang baik untukmu? Apa aku ? Oke, Aku benci kamu!  Kau EGOIS,! Kau tidak peduli lagi. Anjing...

Air mataku menetesi kertas, meninggalkan bercak-bercak tetesan air. Tanda bahwa dengan ini sebaik-baiknya pengganti darah yang mengucur saat aliran nadi kasih sayangku kepadamu kau putus begitu saja. Aku juga merasakan bahwa aku juga egois, bukan hanya dia. Benar, dia aku anggap egois karena aku melihat bahwa bukan dia saja yang mementingkan perasaannya sendiri, aku memaksakan perasaannya agar dia kembali padaku, dan memberikan perhatian kembalipun juga perbuatan egois. Ah, intinya AKU SEKARANG BINGUNG!

Kokokan ayam terdengar lagi dengan sia-sia. Karena kokokan itu bukan membuatku bangun dari tidur lelap dengan mimpi-mimpi indah bermesraan bersamamu. Bagaimana tidak sia-sia, aku belum tidur. Tidak normal tidur tepatnya, barangkali ini juga sebuah kegilaan. Karena ada perbedaan perasaan, pola pikir, jasmani yang semakin payah. Yang paling jelas adalah perubahan aku jarang tidur seperti biasanya. Barangkali kau disana sudah enak-enakan mimpi bergandengan tangan mesra, membuat puisi-puisi cantik untuknya, pacarmu yang baru.

Setelah sholat subuh, dia tiba-tiba tertidur meninggalkan selembar kertas yang ada di atas meja. Bukan kertas biasa, dia harap lain kali akan menjadi surat yang akan dikirim ke orang itu.

***

Kebuntuan, Ya! KEBUNTUAN.
Lama-lama hal ini menjadi biasa, menjadi wajar. Menjadi sebuah kedamaian baru, kalau aku harus tetap melangsungkan janji pagi bahwa hari ini harus lebih baik dari hari kemarin.

Manisku, bila kau tahu. Aku sekarang sudah janji pada diriku sendiri, aku harus selalu berpikir positif. Seperti katamu setiap aku meminta nasehat saat aku menghadapi masalah. walaupun kau tidak ada disisiku secara fisik, namun kau selalu ada dengan nasihat-nasihat baikmu. Hidup ini harus tetap berlanjut, ada atau tanpamu, manisku.

Tiap malam hal ini selalu terjadi, karena kebuntuan semua malah menjadi terbuka. Aku ingin kau membalas surat-suratku, akan aku tunggu. Bahkan sampai aku sudah bisa melupakanmu. Kau benar manisku, cinta itu tidak buta.
Namun harapan itu harus selalu ada, harapan dalam bentuk cinta atau dalam bentuk cita. Setidaknya semua harus lebih baik. Seperti lucunya anakku kelak yang lahir dari rahimku bersama orang lain. Anakku yang tersenyum lebar hingga kuping.

Hanya saja aku perlu waktu untuk menerima setiap jenis perubahan.

(Rumah, 1 April 2011) Bukan isinya yang aku pentingkan, tapi nilai dari isi yang ingin aku sampaikan.
Oleh Amin Bagus Panuntun


(2)

Hei, perempuan. kau tahu? kau membuatku gila.
kau punya suatu ritem tersendiri di kepalaku, memiliki suatu irama tersendiri dan aku masih tak mengerti kenapa kau tetap bertahan.


oh tunggu, kurasa aku tahu apa yang sedang terjadi. kesedihanmu tertutupi oleh riasan yang terpantul di cermin.
kau berkata pada dirimu sendiri bahwa ini tak akan terjadi lagi. kau suka menangis sendirian, setelah itu kau berkata bahwa ia berjanji tak akan menyakitimu lagi.


"aku tak apa. percayalah." katamu di suatu senja yang menyala.
tapi aku masih bisa mencium aroma dusta di sela-sela nafasmu. aku melihat adanya suatu bias cahaya yang terpancar di mata beningmu itu. terasa menahan sesuatu. dan siapapun dirinya, aku yakin bahwa dia tidak betul-betul mengenali dirimu.


benda runcing itu sudah merangkak ke angka 2. dan aku masih saja membuka mata. terasa berat untuk menggerakkan mata ini agar segera terpejam. banyak hal-hal brengsek yang berseliweran di otak. seperti sinyal-sinyal handphone yang selalu ruwet mengitari kita tanpa kita sadari. dari sekian banyak hal, ada beberapa hal yang menarikku untuk memasukinya lebih jauh. salah satunya adalah perempuan itu.


ya, perempuan itu. sepintas dia sama saja dengan yang lain. tidak begitu jelek, menurutku. namun juga tidak begitu cantik. biasa saja. rambutnya panjang dan berwarna kecoklatan. aku tak tahu apakah warna itu alami atau artifisial. dan aku juga tidak peduli. tubuhnya tidak terlalu tinggi, dan kulitnya berwarna kuning langsat. cocok dengan warna rambutnya yang seperti itu. matanya bulat lebar dan indah, bening. bibirnya merah tanpa harus ada pemerah. semuanya terlihat begitu alami tanpa harus ada polesan yang sengaja digoreskan. ahh, perempuan...


***


"hei!" ia berteriak dari kejauhan sambil melambaikan tangannya kearahku. kulihat senyum itu lagi. kenapa aku harus dibuat untuk bertemu dengan perempuan seperti dia. sedetik kemudian ia telah dihadapanku. tersenyum kembali.


"ini." ia menyodorkan sesuatu. terlihat seperti obat. dan itu memang obat. tapi untuk apa?
katanya agar aku tidar mengeluh terus-terusan tentang perutku yang suka mendadak nyeri. aku masih bisa melihat luka di pancaran matanya yang indah itu. dan hatiku juga terluka ketika aku mulai menyadari bahwa semua keindahannya terhadapku karena ia memang sifatnya untuk peduli dengan semua orang. aku tak mungkin melangkah terlalu jauh dalam mengartikan keindahan yang ia berikan kepadaku. sial...


aku memaksanya untuk bicara. kali ini ia tak mungkin lagi menyembunyikannya dariku. sudah terlalu jelas untuk disembunyikan. akhirnya ia bersedia untuk menceritakan semuanya. dan kembali kulihat butiran bening itu gugur dari matanya yang harus kuakui memang indah. sungguh aku paling tidak tahan melihat seorang perempuan menangis di hadapanku. apalagi menangis karena seorang bajingan seperti dia. tanpa sadar aku ikut terbawa emosi. aku seolah ikut merasakannya. aku ingin sekali memeluknya, dan berkata bahwa semua akan baik-baik saja selama kau bersamaku. namun aku banya dapat menyodorkan sesungging senyum dan sebuah elusan hangat di ubun-ubunnya. serta berkata "jangan menangis, kau pasti kuat." sungguh betapa pengecutnya aku saat ini.


***


seakan tak dapat kutahan egoku ketika aku melihatnya sedang menyakiti perempuan yang benar-benar aku kasihi, aku melihat perempuanku terluka dan lelaki itu hanya terdiam. sepertinya tampang sinis itu memang telah ia miliki sejak dilahirkan. dan bodohnya, perempuanku masih saja menahannya untuk tidak beranjak. sementara aku? hanya melihatnya dari balik tembok penghalang. aku memang pengecut. aku pulang dengan sebuah penyesalan besar. amat besar. kenapa aku tidak dapat berbuat banyak untuk perempuanku?


hei, apakah kamu merasa menjadi lelaki sesungguhnya ketika kau berhasil menjatuhkan ia ke bawah? apa kamu merasa lebih baik? saat ia terjatuh ke dalam jurang? baiklah temanku, aku akan memberitahumu sesuatu. oh tidak, manusia sepertimu tidak pantas kusebut teman. biarlah aku menganggapmu sebagai seorang yang asing, yang baru datang di kehidupanku. dan, aku beritahu kau sesuatu. suatu saat hidup ini akan berakhir, saat kebohonganmu mulai terungkap, ia akan menemukan kehidupan yang baru. suatu hari ia pasti akan memberitahumu bahwa dia telah cukup merasakan semua luka ini bersamamu.


semua tindakan di dunia ini akan melahirkan sebuah konsekuen. dan kuharap kau berhati-hati dengan apa yang kau punya. aku berkata tentang jalan terbaik namun kau berulang kali mempertahankan alibimu. baiklah, suatu saat kau akan mencabut itu semua dan membenarkan semua kuliahku tentang ini.


***


perempuanku, wajahmu selalu menunduk ke bawah. dan kau juga selalu berkata bahwa ini samasekali tidak melukaimu. setelah itu kau akan berkata "aku sudah cukup merasakannya.dan akhirnya ia memilih perempuan yang lebih berarti baginya." sambil tersenyum masam. semua skenario ini aku sudah hapal bagiannya. tak perlu kau jelaskan. dan lagi-lagi aku hanya bersikap seperti seorang pengecut. berulang kali aku memaki diriku sendiri. mengapa aku tidak dapat meraih tubuh itu ke dalam pelukanku?


setiap kali kau datang padaku untuk menangis, setiap kali itulah aku juga menangis. aku selalu berharap bahwa kau mengerti aku. namun pada realitanya, kau tak akan pernah tahu jika aku hanya terdiam seperti ini. mungkin aku memang ditakdirkan menjadi seorang pengecut, tapi aku tidak begitu percaya pada takdir. yang aku percaya adalah bahwa takdir dapat diubah oleh manusia itu sendiri. semoga itu berlaku untukku saat ini. perasaanku sungguh tercabik saat kau bercerita betapa terlukanya kau atas lelaki bangsat itu. kau tahu? setiap malam aku selalu menyusun untaian kata untuk kujadikan memoar supaya aku tak pernah lupa bahwa aku selalu di sini. di dekatmu. kau tahu? sudah banyak kertas yang kuhabiskan untuk mendeskripsi betapa perasaanku tercampur aduk ketika hidupku mulai dimasuki olehmu. namun aku tak pernah menyesal menjatuhkan hatiku kepada seorang perempuan luar biasa sepertimu. aku benar-benar tak dapat menuliskannya di sini. terlalu indah dan terlalu berharga untuk kubagi dengan yang lain kecuali kamu.


***


malam ini kuakhiri dengan goresan tinta dengan namamu diatas kertas putih ini. aku tidak pernah bosan untuk memandangi namamu. entah kenapa aku tidak bisa membendung perasaan yang amat sangat berlebih. di sana, kau terluka. dan di sini aku juga terluka. bukankah itu impas?
namun setelah kupikir kembali, kurasa aku tak ingin menjadi pengecut selama sisa hidupku.aku memutuskan bahwa aku akan mengatakannya padamu. mengatakan tentang semua perasaan yang begitu ingin diungkapkan. aku tak peduli dengan statusmu yang masih menjadi miliknya atau sudah bukan. yang terpenting aku bisa meluruhkan sebagian hasratku padamu dengan mengatakannya secara lelaki.


pagi itu kulihat kau agak berbeda. kau terlihat redup. aku sudah mempersiapkan kata. seperti biasa, ketika kita berdua berdiskusi di bawah pohon samping kampus. aku mulai memancing perhatianmu agar kau mulai menyadari bahwa aku ada. akulah lelaki yang selalu menyelipkan namamu di setiap doa sebelum menutup mata, dan doa keesokan harinya. berlebihan memang, tapi inilah fakta.


"Hana, dengarkan aku. kupikir ini akan menjadi momen paling memalukan di perjalanan hidupmu. namun aku sungguh tak dapat menahan semua gejolak ini ketika kita sedang bersama. kuharap kau tahu bahwa bagiku, kamu adalah seseorang yang sangat berpengaruh dalam kehidupan. sejak kehidupan kita mulai saling terjalin, aku merasa bahwa kamu memang tidak biasa. cara pikirmu tentang semua ini yang membuatku membuka mata."
perempuan bernama Hana itu menatapku tanpa berkedip. kurasa ia amat sangat terkejut dengan ucapanku yang panjang lebar dan begitu gugup.


"aku ingin kamu tahu, bahwa aku amat sangat mengagumi kamu. sebagai seorang perempuan, jadi kumohon maafkan aku karena telah mengotori persahabatan kita dengan perasaan lain ini. aku berusaha untuk meredam, namun percuma. kau malah semakin bersinar." lanjutku setelah berusaha untuk mengambil napas panjang.


Hana masih tetap menatapku. kupikir ia benar-benar tak mengira aku akan mengatakan ini.


beberapa saat kemudian Hana tersenyum. dan memelukku!


"Terimakasih." ucapnya lembut sambil tetap tak melepaskan pelukannya untukku.


"kau tahu? aku sangat terluka bila kau bercerita tentang betapa sakit lukamu karena bajingan itu. denganku, aku berani bertaruh kau tak akan merasakannya lagi. ini terjadi begitu saja dan aku tak dapat mencegahnya. maafkan aku, Hana."


cinta dapat membuat seseorang berlaku murahan. apakah yang aku lakukan ini murahan, aku tak tahu.


"kau bersedia menerimaku seperti ini?" tanyanya sambil melepas pelukannya. kembali kulihat butiran bening itu mengalilr perlahan.


"ya. jika tidak, untuk apa aku mengatakan semua ini. aku menyayangimu, Hana. aku bersedia menunggu." ucapku mantap.


"tidak, aku telah mengenalmu cukup lama. dan kurasa aku akan mulai menjalani kisah ini denganmu." ia kembali memelukku. betapa indahnya dunia hari ini.


***

dan...
siapa yang menyangka kini ia duduk di pelaminan bersamaku :)


(Oleh Siantita Novaya) silakan klik disini untuk menghubungi Siantita Novaya



Terima kasih telah membaca artikel: Cerpen "Surat - Surat"

0 komentar:

Posting Komentar