Dimalam-malam begini, patung-patung punokawan yang beberapa waktu
yang lalu tak terbeli di warung karena harganya mahal tiba-tiba sukmanya
datang ke kamarku. Pertama kali datang Petruk, lalu diikuti yang lain
sebagainnya macam Bagong, Gareng, Semar, Bima dan Prabu Yudistira.
Mereka datang susul menyusul. Nampaknya mereka ingin menemaniku yang
sendirian di dalam kamar. Mereka ingin saling asah asih asuh antar
sesama. Sebenarnya ini nampak seperti Bangsa lain yang sedang berkunjung
ke bangsaku. Tapi aku sendiri bingung, kenapa mereka begitu. Apa hanya
karena mereka tak terbeli. Maksud saya apa karena mereka sebenarnya
ingin kebebasan. Mereka terkurung dalam kotak pedagang-pedagang itu.
Waktu toko buka mereka dipajang di belakang. Waktu toko tutup mereka di
simpan dalam kotak. Rasa-rasanya mereka sebenarnya kebosanan, kalau
tidak berbuat apa-apa. Hidupnya nampak linier, statis, monoton. Hanya
hal-hal itu saja yang dia lakoni.
Petruk datang lalu ngomel-ngomel.
"Aku
kalau punya facebook aku pingin statusnya di like sama orang-orang yang
benar-benar tulus. Maksudnya, yang tertulis itu memang benar-benar
bermakna bagi orang-orang yang berkepentingan".
Disahut
prabu Yudistira yang nampak muncul menembus pintu kamarku. "Bangsa
kita yang sebenarnya hancur sudah. Kita bermigrasi ke bangsa Facebook,
twitter dan sebagainya. Jadi silakan tertawa sepuasnya".Nampaknya akan
benar-benar terjadi rapat dikamarku. Parabu Yudistira lah yang bakal
memimpin rapat.
"Wah kalau begitu, bakal banyak
kepalsuan kalau rakyat sudah mulai pergi ke Facebook atau Twitter,
rakyat jadi makin pandai ngomong gombal" kata gareng sok tahu. Muncul
dari genting lalu duduk bersila.
"Lho! Apa kamu tidak
punya facebook atau twitter? Kamu kan suka mencitrakan siapa dirimu
lewat status atau TL'mu. Kamu kan yang biasa diam-diam ngintip omongan
orang-orang lalu diam-diam bilang cuiih." Kata Bima menolak omongan
gareng yang tiba-tiba muncul dari bumi.
Bagong lalu
bisik-bisik sama gareng dan petruk. "Coba kalau yang ngomong bukan Bima
yang suka main kasar, sudah ku sumpal mulutnya sama sempakku. Aku
ngerti dia juga punya Facebook dan Twitter. Apa bedanya sama kita?"
Bagonglah yang tiba-tiba muncul bak pesulap saat beraksi.
"Begini
saudara-saudara. Memang kita punya keyakinan, lalu kenapa kita harus
marah bila orang lain sedang mengukuhi keyakinannya? Jangan-jangan kita
pada posisi yang salah. Kita harus mencurigai pikiran kita sendiri
sebelum mencurigai orang lain. Siapa tahu mereka sedang ada maksud
baik." Kata semar mengakhiri. Lalu Rapat dikamarku pun bubar karena ada
politikus bangsa yg sebenarnya yang mengacau menghina.
Aku
yang keheran-heran atas kedatangan mereka, masih nampak takut dan
keheran-heran. Padahal dipikiranku ada yang ingin aku sampaikan. Namun
karena takut dan kaget, apa yang ingin kau sampaikan tak mampu ku
sampaikan. Barangkali ini karena syaraf-syaraf setelah operasi otak yang
ada dikepala aku pindah menjadi di dengkul masih ada syaraf yang
keliru, masih ada syaraf yang salah sambung. Padahal jelas sekali aku
memikirkan bahwa : Bila kita tak sabar mendengarkan atau membaca sampai
selesai, bisa-bisa kita salah dalam mengambil kesimpulan. Yang
seharusnya ada beberapa kalimat lagi sebagai penjelas, namun karena kita
terlanjur merasa sudah bisa mengambil kesimpulan akhirnya kesimpulan
yang kita dapat berbeda dengan yang sebenarnya. Dan sebenarnya aku ingin
mengatakan bahwa "Berapa banyak perang yang terjadi, hanya karena kesimpulan yang keliru".
*Oleh Amin Bagus Panuntun
Kamar, 20 Desember 2011
Ternyata
cukup susah juga membuat fiksi yang menceritakan orang-orang yang
terlanjur mempunyai karakter. Bukan hanya karena ini kontemporer lalu
kita dengan seenaknya menggantikan kearifan semar, kebijaksanaan Prabu
yudistira atau kekuatan Bima. Inilah sebuah cerita fiksi yang saya buat
karena iseng. Sebuah cerita wayang kontemporer. Contemporer of Puppet.




0 komentar:
Posting Komentar