Kemarin saya memang tidak ikut demo, Tapi saya duduk bareng sama intel-intel yang bertugas. Saya tidak ikut upacara (lih : demo)
karena saya punya sikap bahwa Demo saya lihat sebagai onani. Maksud
saya bila kita demo tanpa ada kekuatan besar, dan tidak menghasilkan
apa-apa artinya wajah demo menjadi tidak sakral. Dan akibatnya demo
bukan lagi kekuatan yang bisa merubah kesalahan orang lain atau dalam
bentuk kebijakan karena orang itu menjadi mau intropeksi atau kebijakan
itu dikoreksi karena sebuah penyadaran. Bahkan bisa jadi demo sudah
tidak ada artinya lagi karena masyarakat keseluruhan tidak memberikan
dukungan.
Namun bagi saya, kemarin melihat teman-teman
aktivis yang sedang demo adalah bentuk perasaan simpatik saya kepada
Sondang Hutagalung terlepas dia melakukan ironi yang konyol. Namun saya
melihat sikap dia adalah mampu menyulut perang, sekaligus simbol peperangan.
Dan peperangan yang sebenarnya baru akan dimulai saat kita semua mau
mengorbankan diri sendiri dengan berbenah diri. Menganggap diri sendiri
adalah musuh yang harus sekuat tenaga dilawan. Karena diri sendiri
itulah yang membuat kita permisif terhadap kesalahan-kesalahan,
kebrengsekan-kebrengsekan, yang dilakukan diri sendiri, orang lain
maupun pemerintah sebagai hal yang biasa dilakukan.
Sehingga
itu yang membuat kita lupa bahwa kesalahan adalah kesalahan, kebenaran
adalah kebenaran. Bukan sebuah pengakuan salah benar yang bisa di
plintir-plintir. Sehingga membuat kita semua menjadi acuh sekaligus
membuat kita memahami antara kebenaran dan kesalahan sama saja dan
biasa saja. Kita sendiri tidak sadar bila itu semua membuat kita
kehilangan makna bahwa membiarkan kesalahan sama juga dengan melakukan
kejahatan.
***
Dalam cerita
wayang, Perang Baratayudha yang memang telah di ramalkan oleh para dewa
dari kahyangan dan disetting oleh Kresna. Perang antara pihak Pandhawa
dan Kurawa. Perang antara simbol kebaikan yang diperankan oleh pandawa
dan simbol kejahatan yang di perankan oleh kurawa. Semua itu bisa
disebut takdir yang diciptakan para dewa bahwa hidup ini hitam dan putih
dan juga diberikan takdir bahwa dalam perang baratayudha pihak Pandawa
lah yang akan memenangkan peperangan, itu artinya kebenaran akan selalu
menang.
Namun barangkali karena Kurawa itu memang sudah
ditakdirkan untuk kalah, akhirnya Kurawa akal-akalan melakukan
gebrakan-gebrakan politik, gebrakan-gebrakan amoral sekaligus
membodohkan pihak lain, gebrakan-gebrakan memiskinkan pihak lain dan
gebrakan-gebrakan yang super akal-akalan, yang sebenarnya adalah bentuk
ketakutan bahwa dirinya akan kalah. Oleh karena akal-akalan pihak Kurawa
tersebut akhirnya kehidupan kita tidak lagi hitam dan putih saja. Namun
ada yang abu-abu bahkan bisa merubah warnanya tergantung lingkungan.
Akal-akalan
itulah yang membuat kita tidak sadar bahwa kita sudah dininabobokkan,
kita sudah di peti es kan oleh pihak-pihak kurawa (kejahatan). Akhirnya
kita jadi bodoh, suka ikut-ikutan karena tidak bisa berpikir. Apalagi
yang lebih parah adalah kita merubah warna tergantung lingkungan atau
bisa disebut mencla-mencle, plintat-plintut, munafik. Kita jadi suka
bilang salah saat berada di pihak yang salah, kita suka bilang benar
saat berada di pihak yang benar. Kita jadi suka membiarkan tubuh kita
digerakkan oleh sesuatu yang sebenarnya tidak bertanggung jawab dari
dalam diri kita yaitu kepentingan dan hawa nafsu.
GORO-GORO
Kita
bisa lihat, akal-akalan itu membuat kita merasakan jikalau antara
kebenaran dan kesalahan itu berdamai. Asal ada uang kebenaran bisa
terbeli. Yang salah bisa jadi benar karena hukum dapat dibeli oleh siapa
saja. Keadilan bisa di tidak adilkan oleh kekuasaan yang menindas,
Suara bisa dibeli dengan uang karena mereka butuh, dan tak ada suara
bila uang juga tidak ada. Seseorang yang benar bisa disalahkan karena
fitnah diobral macam diskon akhir tahun, koruptor dibebaskan, aktivis
Hak Asasi Manusia dibunuh karena dianggap membahayakan, Presiden banyak
aksi tipu-tipu namun dikemas dengan cara baru, dll. Bila kita tahu perdamaian antara kebenaran dan kesalahan yang dibuat-buat akan selalu menyakitkan.
Namun
karena otak kita yang seharusnya bisa kita cuci biar bersih ini tidak
kita ijinkan untuk dicuci. Karena bila otak kita bersih malah dikira
kita gila, kita sok alim, kita sok suci, kita sok bersih. Karena
kepalsuan itu memang kita pupuk sendiri menjadi suatu budaya yang
mencemari budaya yang lainnya.
Saya sendiri menginginkan
kalau perang Baratayudha itu benar-benar terjadi di kehidupan nyata
kita. Sehingga pihak dari simbol kebaikan itu menang. Tidak ada lagi
kepalsuan, kemunafikan, korupsi, plintat-plintut, kebodohan, kecurangan,
kesombongan, sikap sok kuasa, kedengkian, kepelitan, kebrengsekan, dan
sifat atau sikap-sikap yang mewakili kejahatan lainnya bisa kalah. Dia
bisa hilang karena kita melawannya. Dan kita bisa sadar kalau musuh
terbesar kita adalah diri sendiri.
Oleh karena itu kita
selalu melakukan perang Baratayudha pada diri kita sendiri. Yang merasa
masih bodoh kita lawan dengan belajar, yang masih tidak jujur kita lawan
dengan melakukan kejujuran, dan lain sebagainya. Agar kehidupan kita di
sini menjadi benar-benar terjamin. Dan Negara sekaligus bangsa ini bisa
maju.
Oleh Amin Bagus Panuntun
Kamar, 9 dan 10 Desember 2011
9 Desember = Hari Anti Korupsi Sedunia
10 Desember = Hari Hak Asasi Manusia
Contemporer of Puppet




0 komentar:
Posting Komentar