POLITIK DAN MAHASISWA

Bagi seseorang yang menganggap bahwa politik itu kotor, mari kita ingat pemikiran Gandhi. Bagi yang menganggap politik itu tipu muslihat, ingatlah apa yang pernah dilakukan oleh Gandhi.
Bila ada orang mengatakan agama (moral) tidak ada sangkut pautnya dengan politik, jangan-jangan yang orang itu yang diketahui adalah agama sekedar pergi sembahyang kemasjid atau pergi ke gereja, atau tempat peribadatan lain. Atau jangan-jangan orang itu lupa kalau dulu sempat pernah membaca buku tarikh Nabi.

Menurut Plato dan Aristoteles menamakannya sebagai en dam onia atau the good life, politik adalah usaha menggapai kehidupan yang baik. Dalam hal ini, maaf bila penulis tidak menuliskan definisi-definisi politik yang njlimet. Setidaknya penulis akan memberikan sudut pandangnya dalam melihat apa itu politik.

Kejernihan politik sebagai bentuk kiat untuk menuju kepada kehidupan yang lebih baik seperti yang didifinisikan oleh Plato maupun Aristoteles, nampaknya sekarang sudah tercemar. Kata Soe hok gie dalam buku Catatan Seorang Demonstran "politik adalah lumpur yang kotor". Politik sesungguhnya bukan yang sebenar-benarnya kita lihat di televisi. Karena sesungguhnya yang ditampakkan oleh para badut-badut di televisi itu adalah kejahatan (ber)politik. Politik bukan gratifikasi, politik bukan seberapa banyak KPK bisa menjerat koruptor atau takluk kepada koruptor. Politik bukan bagaimana kebijakan SBY yang memble, politik bukan bagaimana PSSI kisruh, atau yang paling mutakhir politik bukan kasus Angie-Nazarudin dan sulitnya menemukan bukti bahwa siapa dibelakang kasus mega proyek Hambalang, apakah Anas dan juga Andi Malarangeng. Mereka itu "aktor" yang memuja berhalanya sendiri, (t)uhan partai, (t)uhan benda dan uang, (t)uhan sistem, (t)uhan jabatan dan kekuasaan.

Politik adalah, disaat Fir'aun bertanya kepada Musa "apakah Tuhan alam dunia itu?" Dan jawaban Musa adalah "Tuhan adalah 'Tuhan' dari Timur dan Barat, dari segala yang ada diantaranya". Bagaimana bila Musa mendifinisikan bahwa Tuhan adalah sesuatu yang kaya raya, pemberi rizki, dan pemberi ujian bagi manusia. Barangkali dengan pongah Fir'aun akan menjawab "Akulah (t)uhan itu, aku kaya raya, aku bisa memberi makan kaumku, dan aku bisa membunuh kaumku yang membangkang". Andaikan Musa mendifinisikan Tuhan, barangkali difinisi itu akan dibatasi dengan bahasa. Untung saja Musa mendiskripsikan Tuhan sebagai "pemilik" cahaya yang muncul dari timur dan cahaya yang tenggelam di barat. Pemilik alam semesta beserta isi-isinya baik yang tampak maupun yang tak tampak.

Politik adalah "Apa saja yang dianggapnya layak bagi hati nuraninya". Kepada hal ideal seperti itu Gandhi jatuh cinta. Seperti halnya, Gandhi yang melawan sesuatu yang menyengsarakan rakyat dengan ahimsa (perjuangan dengan kekuatan cinta dan kasih sayang. Perjuangan untuk tidak menyakiti baik fisik maupun pikiran), swadesi (berusaha untuk mandiri dengan mencukupi kebutuhan diri sendiri), dan satyagraha (berpegang teguh pada kebenaran, kejujuran, keseimbangan).

Politik adalah apa yang ada pada kumpulan Puisi WS Rendra Blues Untuk Bonie dengan judul "Khotbah":

Fantastis
Di satu Minggu siang yang panas
Di gereja yang penuh orangnya
Seorang padri muda berdiri di mimbar
Wajahnya molek dan suci
Matanya manis seperti mata kelinci
Dan ia mengangkat kedua tangannya
Yang bersih dan halus bagai leli
Lalu berkata :
“Sekarang kita bubaran.
Hari ini khotbah tak ada”
... (*silakan baca kelanjutannya)

Barangkali Itu 3 diskripsi politik yang bisa penulis gambarkan.

Bila banyak filsuf dulu yang mendiskripsikan bahwa seorang pemimpin baru akan mampu menggunakan kekuasaaannya jikalau disertai moral yang memihak pada kebenaran. Nampaknya sekarang difinisi itu sudah bangkrut dan sangat menghawatirkan (barangkali) setelah Machiaveli, melalui 'pengalamannya' menuliskan dalam buku II Principe yang rampung ditulis di tahun 1516 , politik adalah suatu kiat untuk membentuk, merebut, merong-rong, mempertahankan, memperkuat kekuasaan. Dan moralitas ataupun agama hanya penting bila membantu politik mewujudkan kiat tersebut (cara yang kotor, dengan muslihat komunikasi politik akhirnya yang haram bisa menjadi nampak halal).

Barangkali, ideologi yang terbangun dalam otak badut-badut tersebut adalah bukan kejernihan politik (politik-moral). Melainkan apa yang telah Machiaveli lakukan (politik-sekular). Sehingga yang terbangun dalam dunia badut-badut tersebut adalah kekuasaan yang memerintah bukanlah keindahan moral--sehingga perasaan bersalah tak akan pernah muncul dalam nurani mereka sebagai manusia setelah menindas, menipu, melakukan kekerasan, korupsi, dan lain sebagainya.

Sehingga, bila kita orang yang (merasa) bermoral. Masihkah kita? Berpikir bahwa politik itu adalah apa yang dilakukan oleh badut-badut yang ada di Televisi itu? Coba kita pikirkan sejenak.

***

Jika kita seorang mahasiswa, atau misalnya kita belajar di Fakultas Ekonomi. Bila penulis mendifinisikan bahwa ilmu politik adalah postur besar gagasan dari perkara teknis ekonomi. Apakah kita pantas untuk antipati terhadap ilmu politik? Penulis merasa bukan saatnya lagi kita antipati terhadap ilmu politik, karena biar bagaimanapun politik telah menjadi sebuah desain besar dalam sebuah negara. Dan mahasiswa adalah suatu konsep yang ada didalamnya, sehingga ilmu politik sangat layak jikalau dimikiki oleh para mahasiswa.

Ternyata kita harus bertanya kepada diri kita sendiri kembali, bahwa dalam TRI DARMA PERGURUAN TINGGI yang salah satunya adalah pengabdian masyarakat. Setidaknya dengan iklim intelektual dan ideologinya kita semua masihkah kita akan tergerak untuk bertanya apakah kita akan belajar (membaca dan menulis) dan berusaha untuk menyokong kesejahteraan rakyat Indonesia demi kehidupan yang lebih baik? Bila "YA" mari kita aminkan.


Oleh Amin Bagus Panuntun 
Ceper, 06 Juni 2012

*Kumpulan puisi blues untuk bonie karya WS Rendra bisa di download dari google.


Terima kasih telah membaca artikel: POLITIK DAN MAHASISWA

0 komentar:

Posting Komentar