MASIH

0 komentar
CINTA

Sebab cinta yang menyatu dari dua hati adalah harmoni. Namun, dua hati tak selalu jatuh bersamaan.

Bagiku ada dua macam cinta "cinta = platonik" atau "cinta = nafsu"

Cinta = Platonik
adalah cinta yang didalamnya terdapat jiwa tanpa nafsu, cinta itu benar-benar tulus karena didasari rasa yakin, cinta itu benar-benar suci. Tak ada pengorbanan bagi cinta, karena cinta adalah saling melengkapi, cinta itu saling mengisi, saling menerima, saling memberi, saling dan saling tau diri, barangkali beginilah cinta yang cerdas. Barangkali beginilah cinta dimana manusia akan selalu bisa menentukan nasibnya, dan Tuhan selalu jadi supervisor.

Cinta = nafsu
adalah cinta yang menggebu-gebu, terdapat hasrat, terdapat rasa ingin mencintai, terdapat kepuasan, terdapat rasa senang. Seperti halnya seorang suami istri yang melakukan hubungan badan, yang dipikirkan bukan bagaimana kelak mempunyai anak yang bagaimana, namun yang mereka pikirkan adalah kepuasan. Cinta ini seperti seorang remaja yang mempunyai seorang pacar, bila pacarnya semakin banyak yang menyukai maka dia akan semakin marah. Cinta ini bukan seperti orang tua yang mempunyai seorang anak, bila anaknya semakin dicintai banyak orang maka akan semakin membahagiakan.

Mari kita lihat urut-urutan cinta ini:

Melihat, memunculkan cinta > terjadi ikatan > cinta semakin menguat > (sobahah) hati mengarahkan semua cintanya > (gharm) cinta yang menyala-nyala > ('isyqu) cinta yang meluap-luap> (syaghof) cinta yang masuk kedalam hati yang paling dalam > (tatayyum) hati menyembahnya.

Kemudian apa yang kita pikirkan?
Mana yang disetujui oleh nurani kita?

Di dunia ini ada orang yang tidak ingin berkompetisi dalam mencintai seseorang. Karena memang yang mereka lakukan bukanlah mencintai, yang mereka lakukan adalah melengkapi. Kalaupun mereka harus berkompetisi, lebih baik mereka akan menjauhi cinta kepada seseorang yang mereka cintai sampai batas sejauh-jauhnya. Karena menurut jiwa platonik, cinta yang penuh pengorbanan bukan lagi disebut cinta.

Dan di dunia ini ada orang yang tidak memilih salah satu dari platonik atau nafsu dalam mencintai manusia. Karena keduanya memang manusiawi untuk dilakukan, dan keduanya akan menjadi seperti apa yang ingin saya perbuat dengan harmoni yang seimbang.

Kecuali kalau memang yang dicintai adalah Tuhan, cukuplah cinta platonik tertambat didalam dada yang paling dalam.

JODOH

Menurut kalian jodoh itu siapa? apakah dia yang dengan lantang mengatakan aku cinta padamu?
Dia yang menemani tidurmu setiap hari?
atau, dia yang senantiasa bersamamu sampai akhir hayatmu?

Jika jodoh itu orang yang memiliki ikatan pernikahan denganmu
lantas bagaimana dengan mereka yang menikah lalu bercerai?
apa itu berarti mereka tidak berjodoh?

Apapun jawabannya, pertanyaan ini bukan untuk dijawab.

Karena jodoh itu muncul disaat kita mulai memutuskan.
Jadi, sebelum kita memutuskan selalu ada kesempatan untuk dibandingkan antara satu dengan yang lainnya.

Namun, saat kita melihat kembali urutan cinta diatas tadi.
Apakah akan selalu ada orang yang merasa menjadi korban penghianatan?

Padahal, ada ketulusan yang bisa dijelaskan namun sulit untuk didifinisikan bahwa.
"Kamu boleh berjanji, kamu boleh menghapus janjimu, kamu boleh memilih yang terpilih bagimu, pada akhirnya yang terjadi pada kita itu yang terbaik".

Lalu, pertanyaan kita bersama. "Masih adakah seseorang yang buta dengan ketulusan?"
Masih?


Oleh Amin Bagus P
Klaten, 21 Juni 2012


Terima kasih telah membaca artikel: MASIH

Peniup Cinta

0 komentar
Setangkai edelweis tak kian cepat dihinggap kupu,
Ku pulang padamu pada suara yang penuh samar,
pada suara yang gemetaran menghantar aku pada situasi
sendu kelabu hingga pilu yang juga tersamar.

Cinta bukan sembarangan lembah-lembah senang dan sengsara
cinta itu kosong, lembah-lembah yang karena angin jadi menderu
cinta itu satu, pada angin yang mendesir di kalbu.
Cinta itu bukan sekedar kamu dan aku,
cinta itu alam, cinta itu semesta,
cinta itu bukan difinisi,
cinta itu cahaya pada kuasanya pemilik matahari.
Cinta itu diskripsi, yang akan kita ketahui setelah kita menjadi pecinta.
Manusia, alam, tumbuhan, hewan, semesta, dimiliki Tuhan.

Cinta - rekahkanlah sekuntum kembang
bewarna dari yang tiada menjadi berbunga.

Oleh Amin Bagus P
17 Juni 2012

Terima kasih telah membaca artikel: Peniup Cinta

DO'A

0 komentar
Aku lemas
Tapi berdaya
Aku tidak sambat rasa sakit
atau gatal

Aku pengin makan tajin
Aku tidak pernah sesak nafas
Tapi tubuhku tidak memuaskan
untuk punya posisi yang ideal dan wajar

Aku pengin membersihkan tubuhku
dari racun kimiawi

Aku ingin kembali pada jalan alam
Aku ingin meningkatkan pengabdian
kepada Allah
Tuhan, aku cinta padamu...

Jakarta, 31 Juli 2009
 (Inilah puisi terakhir yang ditulis  WS Rendra beberapa bulan sebelum dia bertemu kematiannya)

Dalam setiap do'a, selalu terkandung ketegangan. Dalam harap yang sangat, dalam kemauan Tuhan yang tidak pernah kita tahu sebelum semuanya terwujud. Hingga lidah tak bisa bertingkah sedikitpun. Karena kita adalah harap.

“Di pintu-Mu aku mengetuk,
aku tak bisa berpaling,” -Chairil Anwar-

Selalu ada ketegangan. Dalam do'a selalu ada ketegangan.

Bila agama yang (saya yakini) membenci syair. Barangkali saya tidak akan pernah berdo'a. Atau barangkali agama itu lupa bahwa do'a adalah syair. Karena agama (yang saya yakini) tak membenci syair. Oleh karena itu saya percaya bahwa do'a adalah sejenis puisi. Dia akan selalu puitis untuk diucapkan. 

Kamar, 8 Juni 2012

Terima kasih telah membaca artikel: DO'A

Dua Puisi Tanpa Nama

0 komentar
#1
SURAT

Kutulis surat ini
kala rintik gerimis yang ritmis
kutulis surat ini
kala angin membasuh nadi yang sepi

Selusin malaikat turun juga akhirnya
menyulut kelam dalam muram
menyala rasa dalam bahagia
menjadi kita berdua pada akhirnya

Kutulis surat ini
sebagai pertapaan yang sepi
digoda bidadari yang tak lagi asyik menari
kutulis surat ini
sebagai hiasan langkah-langkah yang mungil
diantara hawa malam dengan hujan yang gigil

Kutulis surat ini
senada dengan pesona
seirama dengan suara
sekeras dentuman kata
selembut kalbu-saat aku
menyebut namamu dalam tulisanku

#2
DALAM SEBAB

Dalam sepasang mata yang buta
Bukanlah batas yang ada dan tiada
Sebab yang jatuh, selalu bisa tersentuh
Sebab  cinta yang utuh, hadir tanpa keluh

Dalam sepasang telinga yang tuli
Bukanlah batas yang suara dan bisik
Sebab yang pergi, selalu mampu kembali
Sebab cinta yang suci, hadir tanpa benci

Lalu, dalam sebab apalagi
Aku harus mengulangi.
Bahwa dalam sebab apalagi
Namamu tlah seribu satu kali kuulangi 

Pada Sebuah Nama, 5 April 2012
@AMINKECIL

Terima kasih telah membaca artikel: Dua Puisi Tanpa Nama

POLITIK DAN MAHASISWA

0 komentar
Bagi seseorang yang menganggap bahwa politik itu kotor, mari kita ingat pemikiran Gandhi. Bagi yang menganggap politik itu tipu muslihat, ingatlah apa yang pernah dilakukan oleh Gandhi.
Bila ada orang mengatakan agama (moral) tidak ada sangkut pautnya dengan politik, jangan-jangan yang orang itu yang diketahui adalah agama sekedar pergi sembahyang kemasjid atau pergi ke gereja, atau tempat peribadatan lain. Atau jangan-jangan orang itu lupa kalau dulu sempat pernah membaca buku tarikh Nabi.

Menurut Plato dan Aristoteles menamakannya sebagai en dam onia atau the good life, politik adalah usaha menggapai kehidupan yang baik. Dalam hal ini, maaf bila penulis tidak menuliskan definisi-definisi politik yang njlimet. Setidaknya penulis akan memberikan sudut pandangnya dalam melihat apa itu politik.

Kejernihan politik sebagai bentuk kiat untuk menuju kepada kehidupan yang lebih baik seperti yang didifinisikan oleh Plato maupun Aristoteles, nampaknya sekarang sudah tercemar. Kata Soe hok gie dalam buku Catatan Seorang Demonstran "politik adalah lumpur yang kotor". Politik sesungguhnya bukan yang sebenar-benarnya kita lihat di televisi. Karena sesungguhnya yang ditampakkan oleh para badut-badut di televisi itu adalah kejahatan (ber)politik. Politik bukan gratifikasi, politik bukan seberapa banyak KPK bisa menjerat koruptor atau takluk kepada koruptor. Politik bukan bagaimana kebijakan SBY yang memble, politik bukan bagaimana PSSI kisruh, atau yang paling mutakhir politik bukan kasus Angie-Nazarudin dan sulitnya menemukan bukti bahwa siapa dibelakang kasus mega proyek Hambalang, apakah Anas dan juga Andi Malarangeng. Mereka itu "aktor" yang memuja berhalanya sendiri, (t)uhan partai, (t)uhan benda dan uang, (t)uhan sistem, (t)uhan jabatan dan kekuasaan.

Politik adalah, disaat Fir'aun bertanya kepada Musa "apakah Tuhan alam dunia itu?" Dan jawaban Musa adalah "Tuhan adalah 'Tuhan' dari Timur dan Barat, dari segala yang ada diantaranya". Bagaimana bila Musa mendifinisikan bahwa Tuhan adalah sesuatu yang kaya raya, pemberi rizki, dan pemberi ujian bagi manusia. Barangkali dengan pongah Fir'aun akan menjawab "Akulah (t)uhan itu, aku kaya raya, aku bisa memberi makan kaumku, dan aku bisa membunuh kaumku yang membangkang". Andaikan Musa mendifinisikan Tuhan, barangkali difinisi itu akan dibatasi dengan bahasa. Untung saja Musa mendiskripsikan Tuhan sebagai "pemilik" cahaya yang muncul dari timur dan cahaya yang tenggelam di barat. Pemilik alam semesta beserta isi-isinya baik yang tampak maupun yang tak tampak.

Politik adalah "Apa saja yang dianggapnya layak bagi hati nuraninya". Kepada hal ideal seperti itu Gandhi jatuh cinta. Seperti halnya, Gandhi yang melawan sesuatu yang menyengsarakan rakyat dengan ahimsa (perjuangan dengan kekuatan cinta dan kasih sayang. Perjuangan untuk tidak menyakiti baik fisik maupun pikiran), swadesi (berusaha untuk mandiri dengan mencukupi kebutuhan diri sendiri), dan satyagraha (berpegang teguh pada kebenaran, kejujuran, keseimbangan).

Politik adalah apa yang ada pada kumpulan Puisi WS Rendra Blues Untuk Bonie dengan judul "Khotbah":

Fantastis
Di satu Minggu siang yang panas
Di gereja yang penuh orangnya
Seorang padri muda berdiri di mimbar
Wajahnya molek dan suci
Matanya manis seperti mata kelinci
Dan ia mengangkat kedua tangannya
Yang bersih dan halus bagai leli
Lalu berkata :
“Sekarang kita bubaran.
Hari ini khotbah tak ada”
... (*silakan baca kelanjutannya)

Barangkali Itu 3 diskripsi politik yang bisa penulis gambarkan.

Bila banyak filsuf dulu yang mendiskripsikan bahwa seorang pemimpin baru akan mampu menggunakan kekuasaaannya jikalau disertai moral yang memihak pada kebenaran. Nampaknya sekarang difinisi itu sudah bangkrut dan sangat menghawatirkan (barangkali) setelah Machiaveli, melalui 'pengalamannya' menuliskan dalam buku II Principe yang rampung ditulis di tahun 1516 , politik adalah suatu kiat untuk membentuk, merebut, merong-rong, mempertahankan, memperkuat kekuasaan. Dan moralitas ataupun agama hanya penting bila membantu politik mewujudkan kiat tersebut (cara yang kotor, dengan muslihat komunikasi politik akhirnya yang haram bisa menjadi nampak halal).

Barangkali, ideologi yang terbangun dalam otak badut-badut tersebut adalah bukan kejernihan politik (politik-moral). Melainkan apa yang telah Machiaveli lakukan (politik-sekular). Sehingga yang terbangun dalam dunia badut-badut tersebut adalah kekuasaan yang memerintah bukanlah keindahan moral--sehingga perasaan bersalah tak akan pernah muncul dalam nurani mereka sebagai manusia setelah menindas, menipu, melakukan kekerasan, korupsi, dan lain sebagainya.

Sehingga, bila kita orang yang (merasa) bermoral. Masihkah kita? Berpikir bahwa politik itu adalah apa yang dilakukan oleh badut-badut yang ada di Televisi itu? Coba kita pikirkan sejenak.

***

Jika kita seorang mahasiswa, atau misalnya kita belajar di Fakultas Ekonomi. Bila penulis mendifinisikan bahwa ilmu politik adalah postur besar gagasan dari perkara teknis ekonomi. Apakah kita pantas untuk antipati terhadap ilmu politik? Penulis merasa bukan saatnya lagi kita antipati terhadap ilmu politik, karena biar bagaimanapun politik telah menjadi sebuah desain besar dalam sebuah negara. Dan mahasiswa adalah suatu konsep yang ada didalamnya, sehingga ilmu politik sangat layak jikalau dimikiki oleh para mahasiswa.

Ternyata kita harus bertanya kepada diri kita sendiri kembali, bahwa dalam TRI DARMA PERGURUAN TINGGI yang salah satunya adalah pengabdian masyarakat. Setidaknya dengan iklim intelektual dan ideologinya kita semua masihkah kita akan tergerak untuk bertanya apakah kita akan belajar (membaca dan menulis) dan berusaha untuk menyokong kesejahteraan rakyat Indonesia demi kehidupan yang lebih baik? Bila "YA" mari kita aminkan.


Oleh Amin Bagus Panuntun 
Ceper, 06 Juni 2012

*Kumpulan puisi blues untuk bonie karya WS Rendra bisa di download dari google.


Terima kasih telah membaca artikel: POLITIK DAN MAHASISWA