Sebelumnya saya ingin jelaskan kalau saya tidak sudi menggunakan
istilah wanita kepada seorang perempuan, karena artinya yang
merendahkan. Wanita berasal dari kata: wani = orang; toto = hias; yang
artinya orang yang dihias, hiasan. Sedangkan perempuan memiliki makna
yang jauh lebih menghormatkan. Perempuan dari kata empu = pemilik. Jadi
wanita adalah pemilik, yang dihormati. Jadi untuk selanjutnya hanya
akan ada kata perempuan. (Ery goodreads)
***
Seorang
anak pertama kali hidup dengan udara kampung. Anak-anak yang berpikir
bahwa hal yang menarik baginya dia lakukan meskipun itu dilarang.
Pernah
karena bandel dan kebanyakan polah (bergerak gesit) saat bermain dengan
adik-adiknya, dia dijuluki dengan sebutan Trinil. Entah apa yang ada
dipikiran Trinil, yang jelas dia mencintai ayah ibunya dan menyayangi
adik-adiknya, ini ditunjukkan Trinil pada saat bermain dengan adiknya
yang pertama, mengayomi adiknya dan membuat senang adiknya. Bukan hanya
itu, sikap seorang anak itu (Trinil) ditunjukkan secara sederhana lewat
betapa senangnya dan gembiranya dia saat memiliki adik baru lagi. Bagi
Trinil itu tandanya dia akan mempunyai teman bermain baru. Dengan sikap
kepemimpinannya sebagai mbak (kakak) bagi adik-adiknya maka bertengkar
adalah kegiatan yang jarang pernah terjadi antara seorang adik dan
kakak.
Ayah yang begitu perhatian dengan
anak-anaknya. Ayah Trinil beberapa kali mengajak anak-anaknya untuk
berjalan-jalan naik kereta pergi ke kampung-kampung sebagai pembelajaran
bagi Trinil dan adik-adiknya. Bagi Ayahnya hal ini merupakan pendekatan
secara terarah agar puterinya kelak akan mencintai rakyat dan
bangsanya, sehingga apa yang dilihatnya dapat tertanam dalam ingatan RA
Kartini danadik-adiknya serta dapat mempengaruhi pandangan hidupnya
setelah dewasa.
Karena Trinil merupakan anak
bangsawan menunjukkan kedekatan dengan para londo (belanda) pernah suatu
hari dia, dan kedua adiknya Roekmini dan Kardinah menikmati keindahan
pantai bandengan yang letaknya 7 km ke Utara Kota Jepara, yaitu sebuah
pantai yang indah dengan hamparan pasir putih yang memukau sebagaimana
yang sering digambarkan lewat surat-suratnya kepada temannya Stella di
negeri Belanda. Trinil dan kedua adiknya mengikuti Ny. Ovink Soer
mencari kerang sambil berkejaran menghindari ombak, kepada Trinili
ditanyakan apa nama pantai tersebut dan dijawab dengan singkat yaitu
pantai Bandengan. Inilah awal kedekatan antara Trinil dengan Nyonya yang
akan mempengaruhi kedekatan tulisan surat-suratnya kepadanya.
Bila kalian tahu TRINIL ADALAH RA KARTINI
Selang
beberapa tahun pada usianya 12 an tahun kemudian setelah selesai
pendidikan di EUROPASE LEGERE SCHOOL, RA Kartini berkehendak ke sekolah
yang lebih tinggi dengan mengajukan lamaran beasiswa ke Belanda, Karena
baginya pendidikan yang tinggi artinya merubah tatanan sosial. Namun
timbul keraguan di hati RA Kartini karena terbentur pada aturan adat
apalagi bagi kaum ningrat seperti dia bahwa wanita seperti dia harus
menjalani pingitan. Akhirnya dia serahkan beasiswa itu pada H. Agus
Salim.
ITULAH RA KARTINI
Kemampuan
pendidikannya yang telah menunjukkan sikap-sikapnya serta jiwa
kemanusiaan yang telah diajarkan ayahnya yang begitu membuat RA Kartini
berbeda dengan wanita-wanita lainnya. Dia menjalankan Islam dengan Baik,
dia sadar bahwa Islam adalah Kemerdekaan yang bertauhid. Seperti
tulisan-tulisannya dalam surat-suratnya.
“Menyandarkan
diri kepada manusia, samalah halnya dengan mengikatkan diri kepada
manusia. Jalan kepada Allah hanyalah satu. Siapa sesungguhnya yang
mengabdi kepada Allah, tidak terikat kepada seorang manusia pun ia
sebenar-benarnya bebas.” [Surat Kartini kepada Ny. Ovink, Oktober 1900]
“Supaya
Nyonya jangan ragu-ragu, marilah saya katakan ini saja dahulu:
Yakinlah Nyonya, KAMI AKAN TETAP MEMELUK AGAMA KAMI yang sekarang ini.
Serta dengan Nyonya kami berharap dengan senangnya, moga-moga kami
mendapat rahmat, dapat bekerja MEMBUAT UMAT AGAMA LAIN MEMANDANG AGAMA
ISLAM PATUT DISUKAI . . . ALLAHU AKBAR! Kita katakan sebagai orang
Islam, dan bersama kita juga semua insan yang percaya kepada Satu Allah,
Gusti Allah, Pencipta Alam Semesta" [Surat Kartini kepada Ny. Van
Kol, 21 Juli 1902]
"Bagaimana pendapatmu tentang
ZENDING (Diakonia), jika bermaksud berbuat baik kepada rakyat Jawa
semata-mata atas dasar cinta-kasih, bukan dalam KRISTENISASI? Bagi
orang Islam, melepaskan keyakinan sendiri memeluk agama lain, merupakan
dosa yang sebesar-besarnya . . . Pendek kata, boleh melakukan Zending,
tetapi JANGAN MENG-KRISTEN-KAN ORANG! Mungkinkah itu dilakukan?"
[Surat Kartini kepada E.C. Abendanon, 31 Januari 1903]
“Kesusahan kami hanya dapat kami keluhkan kepada Allah, tidak ada yang
dapat membantu kami dan hanya Dia-lah yang dapat menyembuhkan…”
“Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu: Hamba Allah (Abdullah).”
[Surat Kartini kepada Ny. E.C. Abendanon, 1 Agustus 1903]
Atau Kemauannya untuk merubah Perempuan agar bisa kuat dalam menjalani kehidupan batin dan nyatanya.
"Tahukah
engkau semboyanku? Aku mau! Dua patah kata yang ringkas itu sudah
beberapa kali mendukung membawa aku melintasi gunung keberatan dan
kesusahan. Kata "aku tiada dapat!" melenyapkan rasa berani. Kalimat "aku
mau!" membuat kita mudah mendaki puncak gunung.
" Tiada
awan di langit yang tetap selamanya. Tiada mungkin akan terus-menerus
terang cuaca. sehabis malam gelap gulita lahir pagi membawa keindahan.
kehidupan manusia serupa alam” (Kartini - Habis Gelap Terbitlah Terang)
“Wanita dijajah pria sejak dulu. Dijadikan perhiasan sangkar madu.”
Kartini
mencoba merubah budaya bahwa pendidikan bagi kaum perempuan itu perlu
agar yang diurusi perempuan bukan hanya "Masak-Manak-Macak". Seorang
Perempuan baginya harus mempunyai pendidikan yang baik.
***
Lalu kartini bersama suaminya mendirikan sekolah, sayangnya sekolah untuk orang orang yang mampu saja.
"Kami
di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak
perempuan, BUKAN SEKALI-SEKALI KARENA KAMI MENGINGINKAN ANAK-ANAK
PEREMPUAN ITU MENJADI SAINGAN LAKI-LAKI DALAM PERJUANGAN HIDUPNYA. Tapi
karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita,
agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang
diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik
manusia yang pertama-tama."
[Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902]
Dari
surat diatas jelaslah bagaimana maksud Kartini bahwa perempuan harus
mempunyai sikap KeIbuan. Secara gamblang secara wanita kekinian saya
mempunyai pengertian bahwa seorang perempuan harus mempertahankan
dirinya sejak awal, mengadvokasi dirinya sendiri. Seorang perempuan
harus tumbuh dengan menjaga dirinya sendiri, dengan mengupayakan dirinya
menjadi orang yang selalu mencari suplemen-suplemen ilmu,
nutrisi-nutrisi keagamaan. Menjaga dirinya dari kekuatan-kekuatan dari
luar dirinya yang negatif, dari ideologi seks bebas, ideologi fahsion,
kebudayaan permisif (serba boleh), kebudayaan hedonis (serba
senang-senang), dan lain sebagainya.
Semua itu dimaksudkan
untuk mencetak seorang perempuan yang akan menjadi Ibu dari
anak-anaknya, menciptakan anak-anak yang mempunyai iman yang tidak
bencong, mempunyai anak yang mempunyai ilmu dan dekat dengan rakyat yang
tertindas, anak-anak yang selalu membicarakan stop kemunafikan dan
bersikap memperjuangkan kebenaran dan lain sebagainya. Karena semua itu
berawal dari seorang IBU yang handal, yang berilmu pengetahuan yang
baik, ibu yang solehah tunduk kepada Allah, dan segala kebaikan lainnya.
Semua itu untuk kehidupan yang lebih baik. seperti cita-cita kartini.
Perempuan boleh saja mati
Tapi Ibu tidak
Perempuan boleh saja mati
Tapi Kartini tidak
Karena Ibu dan Kartini adalah Konsep. (Amin Bagus Panuntun)
***
Mari
kita lihat soal kontemporer tentang wanita. Wanita sekarang sudah
mempunyai persepsi lain tentang Kartini. Baginya hari kartini adalah
sebuah ritual bahwa sehari ini kita telah tumbuh menjadi wanita yang
bebas. Bebas menentukan saya akan berbuat apa, saya akan menjadi apa,
saya akan berpakaian seperti apa. Andaikan Kartini masih hidup,
barangkali dia akan menangisi keadaan saat melihat kebanyakan wanita
sekarang. Wanita yang menjual dirinya secara murah dengan melakukan
hal-hal yang murahan. Fenomena pacaran yang banyak mengarah ke zina,
paham kesenang-senangannya yang terlalu berlebihan, kemauannya untuk
mencari ilmu yang semakin lama semakin memprihatinkan, jiwa kemanusiaan
yang lama-lama luntur dan lain sebaginya. Itu wajib kita waspadai bagi
wanita manapun.
Saya membayangkan sebuah kondisi,
dimana Perempuan-perempuan indonesia bangkit menjadi perempuan yang ke
Ibuan dan ke-kartini-kartinian dan atau Ke Cut Nyak dien'an.
Oleh Amin Bagus Panuntun
Rumah 21 April 2011
Terima kasih telah membaca artikel: Catatan Harian Kartini



0 komentar:
Posting Komentar