Seorang guru saat pelajaran seni menyuruh muridnya untuk menggambar.
“Anak-anak… Coba kalian gambar gunung dan lalu diwarnai yaaa…”. Semua
murid akhirnya mengeluarkan kertas gambar, pensil dan seperangkatnya.
Menggambarpun dimulai, murid-murid aktif menggambar. Dan guru itu sibuk
memainkan blackbary barunya di depan, di meja guru yang begitu nyaman
dengan kursi yang empuk.
Namun ada satu anak yang tidak
menggambar, dia malah melamun. Entah apa yang ada di lamunannya. Sampai
akhirnya dia tidak menggoreskan pensilnya untuk menggambar gunung.
Sampai pada akhirnya waktu yang ditentukan guru itu telah habis,
dikumpulkanlah gambar-gambar yang dibuat murid-muridnya sampai pada
akhirnya di nilai satu persatu, dinilai dengan nilai yang sama semuanya.
Guru itu tidak sadar bila ternyata ada salah satu muridnya yang tidak
mengumpulkan gambar gunung yang dia intruksikan. Barangkali karena dia
tidak membutuhkan seberapa baik, seberapa berbakat, seberapa terampil
murid-muridnya. Sehingga satu murid bisa lolos dari intruksinya yang
begitu menguasai.
Bu guru…… Amin kan tidak mengumpulkan
gambarannya, ini tidak adil! Bu guru pilih kasih. Kata seorang anak
menginginkan keadilan dari gurunya, karena anak itu menganggap bahwa
menggambar gunung adalah pekerjaan yang menjenuhkan, sia-sia, dan
parahnya lagi dia berpikir kalau intruksi untuk menggambar gunung adalah
pekerjaan untuk menghukum seorang anak yang nakal. Guru itu tercengang
kaget. Siapa pula yang berani-beraninya tidak menuruti perintahnya!
Semua anak akhirnya takut oleh maki-makian gurunya. “Amiiiin, Kamu maju
sini. Cepaaaaat!!!”
Amin pun maju dengan wajah tertunduk namun
tidak merasa gentar kalau jelas-jelas gurunya akan memarahinya. Anak
mana yang tidak takut dengan marahan seorang guru. Barangkali anak yang
sudah sakit jiwa yang tidak takut itu. Akhirnya guru itupun memarahi
Amin dengan mengandalkan kata-katanya yang pedas dan kalimat-kalimat
seolah-olah orang tua amin membutuhkan sebuah gambar gunung yang telah
diintruksikan gurunya. Seolah-olah bila tidak menggambar berarti masa
depan bangsa ini akan hancur berantakan, seolah-olah bila tidak
menggambar adalah sebuah kesalahan besar.
Kenapa kau tidak
menggambar anak nakal!!! (guru itu membentak Amin dengan kalap). Guru
itu seolah-olah bertanya namun tidak mengijinkan Amin untuk menjelaskan
kenapa Amin tidak menggambar. Karena waktu telah disumpal oleh
maki-makian guru itu, dia merasa bahwa dia seperti ditantang oleh anak
kecil, dia merasa dia tidak dihormati oleh anak kecil. Sampai pada
akhirnya waktu tidak memberikan kesempatan pada Amin untuk menjelaskan
saat itu. Sampai pada akhirnya guru itu membuat surat panggilan agar
orang tuanya mendapat peringatan kalau anaknya adalah anak nakal, anak
yang tidak menurut pada perintah, anak tidak tau aturan.
Keesokan
harinya panggilan itu tidak dipenuhi oleh orang tua Amin, karena memang
orang tuanya pun sudah percaya kepada anaknya. “Dasar keluarga tidak
tau aturan! Tidak tau berterima kasih kepada guru! Siapa memangnya dia,
Apa dia seorang Pejabat! Sampai-sampai tidak memenuhi panggilan dari
sekolah!” Bentak guru itu kalap kepada amin saat menghadap di ruang
guru. Dan guru itu seolah menginginkan teman-teman guru lainnya agar
membenarkan pernyataannya.
Amin pun tidak merasa gentar
sedikit pun. Sampai pada akhirnya ada seorang guru ikut-ikutan untuk
bertanya, “kenapa kamu tidak ikut menggambar seperti teman-temanmu,
naak…?” Akhirnya Amin pun menjawab. Kenapa saya harus menggambar sebuah
gunung? Yang sudah tentu saya sudah tau kalau murid yang menggambar
bahwa gunung adalah dua buah kerucut yang berjejer, lalu ada jalan lurus
dibawahnya, dan disampingnya ada petak-petak sawah yang padinya seperti
huruf V maka bu guru akan menilai dengan nilai paling tinggi? Tentulah
semua murid akan menggambar hal itu agar mendapat nilai paling tinggi.
Karena setiap ada pelajaran seni bu guru selalu menyuruh murid-murid
untuk menggambar gunung. Tidak ada yang lain. Kita sampai hafal.
Benar-benar hafal. Toh nilai itu juga tidak akan masuk dalam raport
karena bu guru tidak pernah sekalipun peduli dengan pekerjaan kami. Yang
bu guru pedulikan hanya bagaimana mengisi agar jam pelajaran dapat
berlalu tanpa ada keramaian murid-murid.
Wajah guru itupun
memerah, harga dirinya seperti di injak-injak oleh seorang anak-anak.
“Dasar brengsek!” Lalu guru itu menampar anak itu. Guru itu tidak tahu
kalau ternyata anak itu adalah anak kepala sekolah karena dia tergolong
guru baru dalam dua bulan ini. Dia tidak tahu bahwa anak itu adalah anak
dari kepala sekolah yang membuat dia takut mendapat cap guru jelek
kalau murid-muridnya ramai tak beraturan di dalam kelas saat dia
mengajar.
Sampai pada akhirnya panggilannya sebagai guru tidak
pernah dia dengar lagi, dan sampai-sampai dia tidak lagi bisa mendapat
gaji dari pekerjaannya sebagai guru. Karena guru itu dipecat oleh
Negara!
(Seni, baik itu seni tari, sastra, seni rupa,
teater adalah sebuah pelatihan jiwa, sebuah hal yang bisa dinikmati
sebagai makanan rohani. Menggambar pun bukan sekedar masalah
keterampilan atau bakat, tapi masalah bagaimana seseorang bisa membuat
sebuah karya yang mampu mengajak penikmatnya, bahwa gambar dimulai dari
sebuah kepekaan, dorongan jiwa, kemampuan berpikir, kebebasan,
kejernihan hati.)
(Kamar, 20 Februari 2011)
Terima kasih telah membaca artikel: Cerpen "Menggambar"



0 komentar:
Posting Komentar