Cerpen "Menggambar"

0 komentar
Seorang guru saat pelajaran seni menyuruh muridnya untuk menggambar. “Anak-anak… Coba kalian gambar gunung dan lalu diwarnai yaaa…”. Semua murid akhirnya mengeluarkan kertas gambar, pensil dan seperangkatnya. Menggambarpun dimulai, murid-murid aktif menggambar. Dan guru itu sibuk memainkan blackbary barunya di depan, di meja guru yang begitu nyaman dengan kursi yang empuk.

Namun ada satu anak yang tidak menggambar, dia malah melamun. Entah apa yang ada di lamunannya. Sampai akhirnya dia tidak menggoreskan pensilnya untuk menggambar gunung. Sampai pada akhirnya waktu yang ditentukan guru itu telah habis, dikumpulkanlah gambar-gambar yang dibuat murid-muridnya sampai pada akhirnya di nilai satu persatu, dinilai dengan nilai yang sama semuanya. Guru itu tidak sadar bila ternyata ada salah satu muridnya yang tidak mengumpulkan gambar gunung yang dia intruksikan. Barangkali karena dia tidak membutuhkan seberapa baik, seberapa berbakat, seberapa terampil murid-muridnya. Sehingga satu murid bisa lolos dari intruksinya yang begitu menguasai.

Bu guru…… Amin kan tidak mengumpulkan gambarannya, ini tidak adil! Bu guru pilih kasih. Kata seorang anak menginginkan keadilan dari gurunya, karena anak itu menganggap bahwa menggambar gunung adalah pekerjaan yang menjenuhkan, sia-sia, dan parahnya lagi dia berpikir kalau intruksi untuk menggambar gunung adalah pekerjaan untuk menghukum seorang anak yang nakal. Guru itu tercengang kaget. Siapa pula yang berani-beraninya tidak menuruti perintahnya! Semua anak akhirnya takut oleh maki-makian gurunya. “Amiiiin, Kamu maju sini. Cepaaaaat!!!”
Amin pun maju dengan wajah tertunduk namun tidak merasa gentar kalau jelas-jelas gurunya akan memarahinya. Anak mana yang tidak takut dengan marahan seorang guru. Barangkali anak yang sudah sakit jiwa yang tidak takut itu. Akhirnya guru itupun memarahi Amin dengan mengandalkan kata-katanya yang pedas dan kalimat-kalimat seolah-olah orang tua amin membutuhkan sebuah gambar gunung yang telah diintruksikan gurunya. Seolah-olah bila tidak menggambar berarti masa depan bangsa ini akan hancur berantakan, seolah-olah bila tidak menggambar adalah sebuah kesalahan besar.

Kenapa kau tidak menggambar anak nakal!!! (guru itu membentak Amin dengan kalap). Guru itu seolah-olah bertanya namun tidak mengijinkan Amin untuk menjelaskan kenapa Amin tidak menggambar. Karena waktu telah disumpal oleh maki-makian guru itu, dia merasa bahwa dia seperti ditantang oleh anak kecil, dia merasa dia tidak dihormati oleh anak kecil. Sampai pada akhirnya waktu tidak memberikan kesempatan pada Amin untuk menjelaskan saat itu. Sampai pada akhirnya guru itu membuat surat panggilan agar orang tuanya mendapat peringatan kalau anaknya adalah anak nakal, anak yang tidak menurut pada perintah, anak tidak tau aturan.

Keesokan harinya panggilan itu tidak dipenuhi oleh orang tua Amin, karena memang orang tuanya pun sudah percaya kepada anaknya. “Dasar keluarga tidak tau aturan! Tidak tau berterima kasih kepada guru! Siapa memangnya dia, Apa dia seorang Pejabat! Sampai-sampai tidak memenuhi panggilan dari sekolah!” Bentak guru itu kalap kepada amin saat menghadap di ruang guru. Dan guru itu seolah menginginkan teman-teman guru lainnya agar membenarkan pernyataannya.

Amin pun tidak merasa gentar sedikit pun. Sampai pada akhirnya ada seorang guru ikut-ikutan untuk bertanya, “kenapa kamu tidak ikut menggambar seperti teman-temanmu, naak…?” Akhirnya Amin pun menjawab. Kenapa saya harus menggambar sebuah gunung? Yang sudah tentu saya sudah tau kalau murid yang menggambar bahwa gunung adalah dua buah kerucut yang berjejer, lalu ada jalan lurus dibawahnya, dan disampingnya ada petak-petak sawah yang padinya seperti huruf V maka bu guru akan menilai dengan nilai paling tinggi? Tentulah semua murid akan menggambar hal itu agar mendapat nilai paling tinggi. Karena setiap ada pelajaran seni bu guru selalu menyuruh murid-murid untuk menggambar gunung. Tidak ada yang lain. Kita sampai hafal. Benar-benar hafal. Toh nilai itu juga tidak akan masuk dalam raport karena bu guru tidak pernah sekalipun peduli dengan pekerjaan kami. Yang bu guru pedulikan hanya bagaimana mengisi agar jam pelajaran dapat berlalu tanpa ada keramaian murid-murid.

Wajah guru itupun memerah, harga dirinya seperti di injak-injak oleh seorang anak-anak. “Dasar brengsek!” Lalu guru itu menampar anak itu. Guru itu tidak tahu kalau ternyata anak itu adalah anak kepala sekolah karena dia tergolong guru baru dalam dua bulan ini. Dia tidak tahu bahwa anak itu adalah anak dari kepala sekolah yang membuat dia takut mendapat cap guru jelek kalau murid-muridnya ramai tak beraturan di dalam kelas saat dia mengajar.
Sampai pada akhirnya panggilannya sebagai guru tidak pernah dia dengar lagi, dan sampai-sampai dia tidak lagi bisa mendapat gaji dari pekerjaannya sebagai guru. Karena guru itu dipecat oleh Negara!

(Seni, baik itu seni tari, sastra, seni rupa, teater adalah sebuah pelatihan jiwa, sebuah hal yang bisa dinikmati sebagai makanan rohani. Menggambar pun bukan sekedar masalah keterampilan atau bakat, tapi masalah bagaimana seseorang bisa membuat sebuah karya yang mampu mengajak penikmatnya, bahwa gambar dimulai dari sebuah kepekaan, dorongan jiwa, kemampuan berpikir, kebebasan, kejernihan hati.)

(Kamar, 20 Februari 2011)
Terima kasih telah membaca artikel: Cerpen "Menggambar"

Kematian Bukan Sebuah Malapetaka

0 komentar
Suatu bangsa akan mempunyai banyak pemimpin yang baik, bila banyak pemudanya yang sering naik gunung. (Henry Dounat-Bapak PMI Dunia).

Kita akan mulai dengan menjadi petualang, mencari hal yang baru. Dengan memahami pengertian-pengertian yang kita temui. Ada suatu hal yang menarik, aku ikut mendaki gunung.
Ada suatu keyakinan kalau aku akan menjadi seseorang yang berbeda, melakukan lompatan ke tempat lain untuk mencari kebenaran baru. Masih mempunyai selogan yang sama "Mencari Kebenaran, Dari kebenaran untuk Kebenaran".

Biar bagaimanapun kita akan menghadapi kematian. Menghadapi satu kali kematian Fisik. Walaupun ada pemikiran setiap orang akan mengalami tiga kali kematian. Kalau wanita : Kematian yang pertama adalah saat dia mulai menstruasi, kedua saat dia mulai menikah, ketiga saat dia mulai mempunyai anak. Laki - laki : Kematian pertama saat dia mulai mimpi basah, kedua saat dia mulai menikah, ketiga saat dia menjadi seorang bapak. Tapi kita hanya akan menghadapi satu kematian, kematian Jasmani. Yaitu kematian itu sendiri.

Saat aku akan naik gunung, aku hanya berpikir. Walaupun hanya ada satu kematian, namun ternyata ada banyak sekali perasaan tentang kematian. Dan saat kita mulai dekat dengan alam, bersetubuh dengannya. Kita akan menemukan Sisi baik dari kematian.





HAssssssssssssssssshhh... pikiranku berantakan!

Terima kasih telah membaca artikel: Kematian Bukan Sebuah Malapetaka