"Mudik, yang dulu artinya silaturahmi terhadap keluarga dan handai taulan sekarang artinya juga masih sama, silaturahmi" kata tejon di warung kopi
tejon adalah seorang pemuda yang baru saja mudik dari jakarta, dia kerja sebagai satpam.
"Kamu ketinggalan jaman, kamu sudah buta pikiran kamu." kata gareng menimpali.
Tanpa tedeng aleng-aleng dan terlampau saklek, kata-kata gareng mulai membuat tejon geram. dia merasa terhina, benar-benar terhina.
"Apa kamu bilang? ketinggalan jaman? bukankah kamu yang udik? lihat handphoneku tanpa tombol, lihat dompetku yang tebal, lihat-lihat barang-barang super canggih yang aku punya. Masih kau bilang ketinggalan jaman? Gila "
kondisi warung kopi jadi runyam, mereka berdua kian menjadi pusat perhatian.
Akhirnya tejon pergi begitu saja, meninggalkan kopi yang tumpah setelah ambruk digebrak.
***
"Arus mudik saat ini memang benar-benar hebat. Banyak yang karena mudik akhirnya banyak juga kecelakaan yang banyak menimbulkan ketewasan." Kata pak gareng setelah nonton berita arus mudik di televisi bersama anaknya
"Pak, katanya bapak tadi malam habis bentrok sama pak Tejon. Hanya gara-gara masalah mudik" timpal ibu ani setelah pulang dari membeli sayur diluar
Ibu ani tahu pasti dari acara ibu-ibu yang bergosip, yang kebetulan pemilik warung kopi juga ada disitu.
"Sebenarnya mau bapak tidak sampai seperti itu. Bapak cuma pingin mengutarakan pendapat bapak waktu ngobrol sama dia, tapi karena salah paham malah jadinya begitu buk" kata bapak
"Memangnya gimana pak?" tanya anaknya penasaran
"lhoh, bukankah sekarang makna mudik itu sudah mengalami pergeseran? yang dulunya makna mudik itu adalah pulang dari perantauan untuk bersilaturahmi dengan sanak keluarga dan masyarakat kampungnya, sekarang malah bukan hanya sekedar silaturahmi, namun pola pikirnya semua sudah ke arah matrealistis. Lihat siap yang peduli ilmu apa yang dibawa dari kota untuk masyarakat? budaya yang seprti apa yang dibawa mereka ke kampung. Konsumerisme ! kedatangan mereka bukan untuk membangun budaya baru yang lebih beradab namun malah sebaliknya."
"Pak, mereka kan juga tidak bermaksud seperti itu." bela anaknya
"Itu juga kesalahan pemerintah, sudah tahu ini fenomena yang besar dan potensial, malah dibiarkan saja. Akhirnya fenomena ini diboncengi oleh para industrial. Ya itu tadi konsumerisme, sekarang makna mudik sudah rusak. Yang ada malah berapa uang yang sudah dibawa, apakah tiap tahun mobilnya ganti, padahal di jakarta sana dia bekerja juga sampai berdarah-darah. Tapi saat mudik, semuanya terlihat palsu dan serba wah. Akhirnya semua orang yang kere di kampung milih untuk pergi ke jakarta."
"Bapak ini, kalau bicara pasti semua kena damprat, pemerintah kena damprat, semua kena damprat, nanti ibu sama anak juga kena damprat." Kata bu ani yang pergi meninggalkan mereka berdua ke dapur.
"Lalu bagaimana seharusnya pak, biar makna mudik tidak rusak?" tanya anaknya menodong
"Anak muda sekarang memangnya suka begitu, tidak mau berpikir, semua diserahkan sama orang tua, mau jadi apa bangsa ini kelak."
"Betul kan, kamu juga kena damprat nak. sebentar lagi ibu yang akan kena damprat"
heuheuheueheu ; anaknya tertawa...
"Ibu ini ! Mudik itu kan potensi besar, seharusnya pemerintah mampu mengambil alih. Mampu menularkan budaya kepada mereka, biar ada perubahan, kalau mudik itu bukan sekedar makna kosong karena diambil alih oleh industri. Bayangkan bila mereka yang mudik katakanlah membawa sesuatu yang baru, ilmu yang baru, budaya membaca, budaya bekerja keras, atau mereka itu meninggalkan buku-buku untuk dijadikan perpustakaan di kampung, menularkan inspirasi baru kepada orang-orang kampung. Atau tiap kali mudik ada macam-macam lomba yang menyenangkan, yang bisa menjadikan hiburan warga biar tidak mencari hiburan di mall."
"Tuh kan, kalau bapak lagi berpendapat, semua bisa kena damprat"
"Ini buat kebaikan kita semua, buat nasib festival agama di masa yang akan datang, jadi semua orang juga harus bertanggung jawab".
Oleh Amin Bagus P
klaten, 21 Agustus 2011
Terima kasih telah membaca artikel:
Cerpen "MUDIK"